Aku terpana dengan
langit malam ini. Memang tak ada bintang yang gemerlapan. Memang ini cuaca
mendung. Namun, angin seperti berusaha mencumbuku. Berbisik mesra di setiap
hembus nafas jangkrik di kesunyian malam ini. Aku seperti merindukan sesuatu
yang hilang. Bukan yang belum pernah datang, melainkan yang sempat ada namun
sekarang seperti hilang tak berbekas. Aku merindukan masa itu. Aku merindukan
malam-malam itu. Dan aku ingin semuanya kembali. Aku benci apa yang terjadi
sekarang. Semua begitu sangat terasa menggores dan meninggalkan luka di relung
hati. Padahal Tuhan menyuruh kita untuk bersyukur di setiap hari yang baru. Ya
Tuhan aku bersyukur. Aku jadi belajar banyak akan ini.
Sejujurnya aku tak kuasa menahan air mata untuk jatuh
mencium pipi. Aku tak punya alih-alih untuk memberontak tangisan ini untuk
tidak terjadi. Sekejap aku menjadi wanita paling lemah yang pernah ada di muka
bumi. Bahkan mugkin se-andromeda. Aku menangis sejadi-jadinya hingga bulanpun
seolah melirikku kasihan, peluklah diri ini wahai Purnama. Ini cinta, huh? Dulu
bilang cinta itu menguatkan, bukan begitu? Tapi nyatanya cinta melemahkanku.
Namun aku rasa iya, dengan melemahkanku itu aku menjadi semakin terpancing
untuk semakin berdiri. Kuat tak terkendali. Tapi saat itu aku masih terus
terisak. Salah siapa ini semua?
Dejavu pun aku tak jumpai. Ingin rasanya di selipan kegiatan
harianku terselip momen yang aku rindukan. Tapi, itu Cuma mimpiku kemarin
siang. Bisa saja aku pergi, berlari, tak meinggalkan jejak apapun. Tapi nyatanya
akupun tak bisa. Aku tak sanggup membawa kaki ini pergi menjauh dari ini. Walau
tahu, setiap saat harus menginjak paku atau kerikil. Hingga berdarah tak
karuan. Sebuah kebodohan atau sebuah perjuangan? Logika atau perasaan?
Aku tak pernah mengukur-ngukur sudah seberapa besar
kesabaranku atas ini. Karna aku tak mau mengungkit yang nantinya menyakiti diri
sendiri. Bibir inipun tak sanggup untuk menucapkan selamat tinggal, padahal
hati sudah terlampau batas maksimal toleransi. Ternyata kerinduanku ini hanya
membuat sendu.
Tapi sebetulnya ada saat dimana wanita lelah menangis. Sudah
tak ada sisa air mata lagi di sana untuk dijatuhkan. Pipinya sudah bosan dengan
aliran air dari matanya. Hatinya sudah tak tahu harus berbuat apa lagi dan
akhirnya putus asa. Kemudian, ketika ditanya apa yang bisa membuatmu seperti
itu? Dan jawaban paling tepatnya adalah karena tangisan ini tidak menghasilkan berlian.
Berlian itu berharga. Berarti air mata ini tidak ada harganya. Begitu. Dan ditanya
lagi, lalu apa hal yang bisa membuat air matamu berharga? Dijawab lagi, sesuatu
yang aku rindukan kembali lagi saat ini. Sederhana. Namun tak semudah membeli
sabun colek di indomaret.
Tak ada yang rumit untuk sebuah masalah seperti ini. Hanya
saja wanita yang membuatnya rumit. Kenapa? Karena wanita berfikir sangat
panjang tak terkalahkan. Sesuatu yang sepele dianggap sebuah yang serius karna
dianggap akan berdampak ke segala arah. Namun pria selalu menganggap ini lebay. Contohnya sebuah kerinduan. Tak
ada yang bisa mengobati selain bertemu dan bercanda walau sejenak. Atau sekedar
minum kopi di sebuah kedai sederhana saat hujan deras. Hal sepele yang
dijadikan rumit dengan wanita. Karena rindu itu menyesakkan, bukan?
Aku pun demikian. Rindu yang menumpuk ini seakan menghambat
pernafasanku. Sehingga memaksa air mataku untuk jatuh untuk kesekian kalinya.
Bosan. Selalu menangis di kala rindu menjemput. Bukan hanya rindu figurnya
namun rindu penokohannya yang dulu pernah dilakoni. Bukan peran yang dimainkan
hari ini. Antagonis. Aku benci kamu yang antagonis seperti ini. Hey ini rindu bukan koran bekas. Ditumpuk
kemudian dibawa tukang loak.
Aku tak menemukan jawaban apa-apa sampai detik ini. Mengapa
semua berubah dalam sekejap. Berubah dan tak tersisa bekas-bekas yang lama. Aku
yang salah karena tak mengikutimu berubah? Setidaknya aku bisa merasakan gimana
rasanya menghadapi sebuah perubahan drastis dan kiat-kiat menghadapinya. Akan aku
buat SOP nya coming soon. Sekarang kerinduan ini seperti berubah menjadi sebuah
bom molotov yang harus dihindari agar tak terkena akibat dari ledakannya. Dan,
ledakan rindu itu luar biasa. Luar biasa menyakitkan.
Malarindu ini semakin hari semakin menjadi jadi. Tak
terobati dan tak terkendali. Bisakah tak menyakiti dengan segala ucap kata?
Buatlah bahagia walaupun sedikit, setidaknya tak ada air mata yang jatuh
sia-sia hari ini. Setidaknya tak ada yang berfikir untuk berhenti di tengah
jalan dan menyerah. Cukuplah siksa dengan membawa rindu yang tak kunjung
terampuni. Jangan tambahkan dengan selir-selir yang lain. Aku muak.
Sepertinya aku juga tak peduli sekarang dengan apa yang
menjadi perubahan itu. Ya sudah terbiasa mungkin. Namun bukan berarti aku ingin
ini seterusnya. Aku tetap rindu. Rindu segala yang berubah saat ini. Bukan
merindu yang lain-lainnya. Bukan rindu yang tidak-tidak. Namun rindu hal yang
pernah membuatku tertawa lepas. Rindu dengan segala yang membuatku bahagia. Kamu.
0 komentar:
Posting Komentar